Sejak hari Senin, 5 Oktober 2020, pemerintahan Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Indonesia telah menuntaskan adanya pembahasan mengenai Omnibus Law menjadi pengesahan aturan baru terhadap Undang – Undang berlaku Indonesia. Omnibus Law telah disahkan pada sebuah rapat Paripurna para DPR. UU Cipta Kerja dan Ketenagakerjaan memiliki isi yang berbeda. Proses pembahasan terkait pengesahan Omnibus Law dan perbedaan isi Omnibus Law terhadap UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan pun telah menyebabkan banyak konflik antar anggota DPR.
Dimana jadwal perencanaan langsung dipercepat dan menyebabkan tanda tanya yang besar. Terdapat beberapa fraksi telah menuai oposisi nya, mengingat buruh di Indonesia membutuhkan hak yang tinggi. Salah satunya adalah Partai Demokrat Indonesia. Perdebatan yang panas antara Partai Demokrat dengan wakil DPR telah tersebar ke seluruh sosial media di Indonesia dan menyebabkan kemarahan yang besar bagi banyak orang.
Tidak diberi kesempatan untuk menuai solusi, Partai Demokrat akhirnya telah memutuskan Walk Out dan tidak akan pernah bertanggung jawab terhadap dampak yang akan terjadi. Berdasarkan undangan yang telah beredar, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Ketenagakerjaan sangat memberikan dampak buruk bagi buruh namun tidak untuk perusahaan.
Terdapat 11 klaster Omnibus Law Cipta Kerja yang menyebabkan permasalahan besar bagi masyarakat, yakni:
– Penyederhanaan terkait perizinan
– Persyaratan untuk investasi
– Ketenagakerjaan
– Kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan kuat untuk UMKM
– Kemudahan dalam berusaha
– Dukungan terhadap riset dan inovasi
– Administrasi pada pemerintahan
– Pengenaan sebuah sanksi
– Pengadaan lahan
– Investasi dan proyek pada pemerintahan Indonesia
– Kawasan ekonomi Indonesia
Sementara itu, Omnibus Law perpajakan telah mencakup 6 pilar yang akan disahkan dan ditetapkan langsung oleh DPR, yaitu:
– Pendanaan suatu investasi
– Sistem teritori
– Subjek suatu pajak orang pribadi
– Kepatuhan terhadap wajib pajak Indonesia
– Keadaan iklim berusaha
– Fasilitas yang lengkap.
Dibalik pilar yang telah ditetapkan, terdapat kesengsaraan suatu Pasal yang membuat masyarakat Indonesia melakukan mogok nasional dan melakukan unjuk rasa di setiap pabrik atau langsung menuju Gedung DPR.
Hari demi hari pada 5 Oktober sampai 8 Oktober akan terus dipenuhi dengan unjuk rasa Gerakan buruh, aliansi daerah, mahasiswa, pelajar, dan para pedagang. Lantas, apa saja yang telah membedakan UU Ketenagakerjaan dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang telah menuai suatu konflik dan kontroversial hingga menjadi sorotan media asing? Berikut adalah jawabannya:
Perbedaan Isi Omnibus Law Terkait Waktu Istirahat Dan Cuti Buruh
– Istirahat Mingguan
Dalam sebuah Pasal 79 ayat (2) huruf B UU Ketenagakerjaan telah menyebutkan bahwasanya “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (hari) kerja dalam 1 (satu) minggu.” Dengan hadirnya pengesahan UU Cipta Kerja, hari libur telah dipangkas hingga memberikan beban lebih untuk para buruh di Indonesia. Dimana Pasal 79 ayat (2) huruf b akan dibuat ulang dengan bunyi: Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu lamanya.
Upah
– Upah Satuan Hasil Dan Waktu Bekerja
Undang – Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur suatu upah satuan terhadap hasil dan waktu bekerja. Namun, dalam penetapan UU Cipta Kerja, upah satuan hasil dan waktu telah diatur kembali dalam sebuah Pasal 88 b. Dalam sebuah ayat (2) Pasal 88 b tersebut telah menetapkan bahwasanya ketentuan lebih lanjut mengenai sebuah upah satuan hasil dan waktu bekerja akan diatur kembali pada peraturan pemerintahan Indonesia.
Ketentuan Cipta Kerja tersebut telah menyebabkan kemarahan yang sangat besar. Pemangkasan upah buruh lebih rendah dari ketentuan sebelumnya. Bahkan, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang telah diatur pada Pasal 88 c didasarkan dari sebuah data yang bersumber pada Lembaga yang berwenang di bidang statistik tanah air. Ketentuan lebih lanjut mengenai sebuah tata cara penetapan adanya upah minimum tersebut akan diatur kembali oleh peraturan pemerintahan (pp).
Uang Penggantian Hak Buruh
Dalam ketetapan UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak akan diatur dalam sebuah Pasal 156 ayat (4). UU Cipta Kerja, ketentuan terkait Uang Penggantian Hak yang wajib untuk dibayar oleh pengusaha sebagai pesangon karyawan atau buruh nya di-PHK dan akan berkurang banyak. Dalam UU Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwasanya uang penggantian hak terdiri dari:
– Uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil oleh buruh atau belum gugur terhadap buruhnya.
– Uang pengganti biaya transportasi atau biaya ongkos pulang untuk setiap pekerja.
– Uang penggantian perumahan akan ditanggung perusahaan serta sebuah pengobatan dan perawatan yang telah ditetapkan sebanyak 15 persen dari uang pesangon bulanan.
– Uang penghargaan masa kerja akan diberikan bagi buruh yang telah memenuhi syarat nya.
Namun, dalam pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, hanya terdapat dua jenis uang penggantian hak untuk buruh dan karyawan saja yang diwajibkan kembali kepada seluruh pengusaha di Indonesia. Ialah uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil oleh karyawan tersebut, dan ongkos transportasi atau ongkos pulang. Perbedaan isi Omnibus Law terkait UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan memang menuai banyak konflik di Indonesia hingga saat ini.