Kisah pengambilan jasad pahlawan revolusi di sumur lubang buaya tidak pernah terlupakan hingga saat ini. Kisah haru ini selalu dikenang masyarakat Indonesia yang dimana setiap tanggal 30 September diperingati hari G30S/PKI yang membuat trauma serta meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Gerakan 30 September PKI yang dilakukan pada tahun 1965 menewaskan 7 pahlawan revolusi yang sangat berpengaruh dan sangat berjasa bagi Indonesia.
Peristiwa pembunuhan tujuh perwira TNI AD pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal sebagai G30S/PKI menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia, pada saat itu PKI melakukan penculikan, penganiayaan dan pembunuhan yang berlangsung mulai dari 30 September hingga 1 Oktober 1965. Kemudian ada 7 orang pahlawan revolusi yang gugur dan menjadi korban kekejaman PKI, diantaranya yaitu Jendral Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo dan Lettu Pierre A. Tendean.
Ketujuh pahlawan ini dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa, dari kediaman masing masing di tengah malam dan pagi buta. Ada yang dibawa dalam kondisi masih hidup dan ada juga yang dibawa dalam kondisi sudah tidak bernyawa akibat tembakan yang dilakukan oleh rombongan berseragam itu, setiap pahlawan memiliki kisah yang berbeda beda saat penjemputan. Ada yang langsung di tembak di kediamannya dan ada pula yang diculik dan disiksa terlebih dahulu di daerah lubang buaya.
Jasad pahlawan revolusi dibawa ke daerah lubang buaya, Jakarta Timur dan jasadnya dibuang ke sebuah lubang sumur yang hanya berdiameter 72 cm dan kedalaman sekitar 12 meter. Sejak terjadi peristiwa penculikan itu, pengejarang langsung dilakukan di tanggal 1 Oktober sekitar subuh, berdasarkan informasi yang terkumpul dari masyarakat, tim RPKAD menerima petunjuk bahwa para perwira di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Para jasad pahlawan revolusi dibawa ke sisi selatan yang dimana tuhan merupakan hutan karet yang biasa digunakan untuk latihan tembak menembak oleh sekelompok orang dengan ideology politik asing. Sebagian anggota tim RPKAD yang ada di lokasi mendekati sebuah sumur, dari kejauhan anggota melihat ada sejumlah orang bersenjata lengkap yang ada dalam kondisi siap tempur, jumlahnya sendiri setara dengan 1 batalyon. Melihat hal tersebut anggota RPKAD meyakini bahwa mereka pasukan dari G30S/PKI, karena tim sudah menerima laporan bahwa beberapa jam sebelumnya rombongan bersenjata menggiring tujuh perwira TNI AD ke lokasi tersebut.
Namun karena melihat sejumlah pasukan bersenjata yang jauh lebih besar dari tim RPK-AD, mereka pun kembali merayap menuju pos komandonya. Sayangnya pasukan bersenjata sudah mencium gelagat ada pihak lain yang mengintai mereka, tim RPKAD kembali ke posko untuk memutuskan maju ke lokasi yang dicurigai dan melakukan kepungan dengan teknik yang sudah mereka rencanakan, ternyata jumlah tim RPKAD sama dengan jumlah pasukan bersenjata di lubang buaya.
Pasukan bersenjata tidak berani menandingi kekuatan RPKAD hingga memutuskan untuk menyingkir pergi, setelah itu tim RPK-AD mulai melakukan penyelidikan untuk menemukan jenazah perwira TNI AD yang diculik. Jasad para pahlawan revolusi berhasil ditemukan di sebuah lubang kecil, saat itu sumur tersebut ditutupi dengan daun daun, kain warna warni, batang pisang dan sampah, berdasarkan cerita jenazah yang tertumpuk paling atas yaitu Lettu Pierre A. Tendean, Jendral A. Yani yang ada di tindihan keempat, dan D.I. Panjaitan posisi paling bawah, M.T. Haryono di atasnya.
Kondisi jasad para pahlawan sudah tidak baik, dan menggambarkan ada tindakan penganiayaan dan penyiksaan yang dilakukan PKI sebelum mereka terbunuh. Wajahnya rusak, organ tubuh luar ada yang hilang. Tim dari AL pun ikut mengevakuasi jenazah karena mengalami kesulitan di hari pertama, pada tanggal 4 Oktober 1965 jasad para pahlawan revolusi berhasil ditarik ke permukaan.